Bermain di Ujung Pelangi ; Aku, Kamu dan Sumba


Sumba, pulau "pendiam" yang cantik nan menarik, terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Masih banyak yang berpikir bahwa Sumba adalah Sumbawa, padahal itu adalah dua pulau yang berbeda. Dua pulau yang berada di dua provinsi yang berbeda. 

Tidak ada dalam pikiran ini bisa berkunjung ke pulau ini. Secara informasi mengenai Sumba tidaklah sebanyak tempat-tempat lain di Indonesia, seperti Bali misalnya. Mungkin banyak, atau saya saja yang kurang mencari info. Awal ceritanya hanya karena ada salah satu teman yang kebetulan bertugas di Waingapu sebagai dokter. "Diundang", hmmmm sepertinya nggak deh, karena kemauan saya sendiri. Penasaran, apalagi bu dokter satu ini rajin banget uplod foto-foto tentang Sumba di FBnya. Setelah sempat ragu, berangkat atau nggak. Tapi kalau memang sudah niat, apalagi niatnya baik ya.., semuanya pun terealisasi. Mumpung ada teman yang stay di sana, apalagi hanya 6 bulan. Kesempatan tidak datang dua kali. 

Saya berkunjung ke Sumba tepatnya bulan November 2014, waktu itu sumba masih musim kemarau, cukup panas atau mungkin sangat panas? Topografi Sumba Timur ini, landai, bergelombang sampai berbukit (pegunungan) masih banyak padang rumput (boleh ya pakai istilah padang rumput) yang memanjakan mata, berasa di Afrika saya. Hanya karena saat itu masih musim kemarau, ya padang rumput dan bukitnya masih coklat meranggas. Berangkat dari Bali saya langsung menuju ke Waingapu. Setiba disana, sorenya kami langsung mlipir ke tempat yang menjadi lokasi syuting Pendekar Tongkat Emas. Hanya sungai, tapi didandani begitu cantik, hanya saja tidak permanen. Sungai dengan aliran air yang jernih dan bersih. Buat yang ngeliat pasti pengen nyemplung.

Setelah puas ngambil foto, perjalanan kami berlanjut ke pantai Purukambera. Melewati padang rumput, rumputnya gak ada, karena masih musim kemarau. Justru yang membuatnya terkesan eksotis. Sampai saya berpikir, pengen ngeliat Sumba di musim hujan. Pasti sudah hjau dan tambah cantik. Ditemani langit yang selalu membiru luar biasa cerah, perjalanan menuju ke Pantai Purukambera kami melewati sebuah gereja kecil. Berada sendiri ditengah padang rumput yang coklat meranggas, kerenlah. Sesampainya dipantai Purukambera, melihat pantai ini, saya hanya bisa bengong. Pantai landai yang masih bersih dan sepi, meski disana sudah ada satu hotel, tapi tamunya lebih banyak turis asing, gak banyak sih, hanya beberapalah. Yang membuat tempat ini menarik adalah, adanya tempat yang menyerupai panggung, istilah enaknya apaan ya. Yang jelas tempatnya sangat-sangat romantis. Mungkin kalau ada yang ingin menyatakan cinta tempat ini sangatlah rekomendid banget. Hahaha..., atau yang mau BM, alias bulan madu, bolehlah. Purukambera ini bukanlah pantai yang terletak dibarat, yang bisa melihat matahari tenggelam secara langsung. Meski demikian pantai ini tetap indah bahkan semakin romantis ketika matahari perlahan-perlahan mulai kembali ke peraduannya.

Selepas dari Purukambera, kami pun pulang. Karena besok pagi saya harus berangkat lagi ke tempat-tempat yang katanya bu dokter bagus. 

Malamnya, kami berdua makan di pelabuhan. Romantis yah (ditoyor bu dokter). Banyak pilihan buat makan di pelabuhan ini meski menunya ya hampir sama, ikan. Saya makan ikan, bu dokternya cuma makan sambel. Katanya bosan. Saya hanya ngebatin, makan ikan kok bosan.

Esok paginya, bersiap-siap untuk pergi ke Tarimbang.  Masih pantai, katanya cakep. Kali ini perginya sendiri, berdua sih sama sopir. Hehe..., secara Bu dokternya masih tugas. Memang tugas seorang dokter itu mulia. Ahhh, itu kan masih Jumat, jadi masih masuk kerja. Perjalanan ke Tarimbang ini cukup jauh. Melewati daerah perbukitan seribu. Kan udah dibilangin topografi Sumba Timur ini sebagian berbukit-bukit. Cakep banget, kayak ngeliat bukit Teletubbies, kalau ada yang bilang padang savana di Bromo dengan bukit Teletubbies, kalau di Sumba memang bener-bener mirip. Tapi karena perbukitan/pegunungannya didominasi oleh batu kapur, menyebabkan hanya rumput dan alang-alang saja bisa tumbuh. Mungkin ada pohon besar, tapi tidaklah banyak. Karena masih meranggas alias coklat, jadi saya males mau ngambil foto. Cuma ngebatin, kalau hujan nanti, bukit ini pasti sudah cakep menghijau. Sepertinya harus balik lagi. Tapi sempatkah? Atau masih ada waktukah lebih tepatnya duitnya masih adaaaa gaaaakkkkk????? Itu salah satu alasannya. Tapi niat baik selalu ada jalan. Yakin ajalah.

Perjalanan ke Tarimbang, memakan waktu kurang lebih 4-5 jam. Sebenarnya gak jauh sih, hanya karena jalannya saja yang masih 'Indonesia Raya' banget. Alias, rusak parah jadi harus pelan-pelan. Apalagi kalau ketemuan dengan angkutan pedesaan. Eh iya, angkutan pedesaannya disini adalah truk yang dikasih atap sama tempat duduk, seperti gambar diatas. Semuanya diangkut, ya manusia ya barang-barang kebutuhan pokok.  Bersyukurlah kita yang bisa menikmati bis AC dengan tempat duduk yang nyaman, bisa kemana aja. Foto diatas, diambil tahun 2014, semoga saja jalanannya sudah lebih baik yah sekarang. Meski jalan yang ditempuh cukup rusak, sesekali mendaki dan menurun. Sesekali berkelok dan sesekali lurus tanpa ujung. Tapi sepanjang perjalanan akan kita temui pemandangan yang bagus. Gak rugilah meski harus sakit kepala gara-gara cuaca yang panas dan jalannya kadang-kadang membuat kita berpikir pengen balik aja deh. Balik ke tempat yang 'normal' lagi aja. Tapi begitu melihat pemandangan, Tarimbang dari kejauhan, semangat hidup kembali muncul, hahahahay lebay dah. Eh tapi ini serius, ditengah keputusasaan dengan jalan yang rusak, trus ngeliat Tarimbang masih jauuuuh banget itu rasanya, pengen langsung gelinding aja dari bukit ini biar cepat sampai.
Setelah bersabar menghadapi jalanan yang 'bawel' akhirnya tiba juga di Pantai Tarimbang. Menjelang surut, jadi ombaknya agak tenang, Pantai pasir putih yang landai, sepi dan bikin galau....hahahhaha. Gak percaya? Datang aja sendiri.

Dari pantai ini adalah air terjun yang bernama Laputi, tapi saya lagi tak berjodoh, karena entah mengapa airnya kok gak ada. Musim kering mungkin? Masih 2-3 jam lagi lah dari Tarimbang ini. Masih dengan jalannya yang rusak. Oh iya, ada yang menarik di Sumba Timur ini. Penduduk disini banyak yang melihara babi. Para babi kadang-kadang dibiarkan lepas keleleran dipinggir jalan. Kadang babi besar, kadang-kadang juga anak-anak babi yang lucu-lucu dan menggemaskan. Apalagi kalau mereka lagi jalan-jalan sama induknya. Awalnya saya takjub karena ini pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Ngeliat babi keleleran dijalan udah kayak ngeliat ayam kalau di Jawa. Sayang yah gak ada fotonya, soalnya kalau mau difoto babinya pada menghambur kabur. Mungkin dia gak pede. Disini juga banyak sapi dan kuda. Nah kalau kita ke pantai purukambera biasanya bakal banyak ketemu kuda yang sedang merumput. Gak hanya di Purukambera sih, pokoknya dimana ada padang rumput disitu ada kambing, sapi dan kuda. Satu hari perjalanan hanya menuju dua tempat wisata. Taukan itu artinya apaan.


Perjalanan panjang kita masih berlanjut. Esok harinya, saya menuju Sumba Timur sebelah selatan. Masih pantai. Watuparunu, saya bilangnya pantai kue lapis. Kenapa? Soalnya disisi sebelah pantai ini kita akan melihat tebing kapur, yang mirip kue lapis. Sedangkan sisi satunya kita akan melihat pantai dengan karang bolongnya. Kalau surut kita bisa 'melintas' menuju ke tebing 'kue lapis'.  Salah satu lokasi syuting Pendekar Tongkat Emas.
 Masih belum bosankan? Secara cerita tentang Sumba ini masih panjang. Tinggal dikit lagi sih. Karena perjalanan ini masih ada sehari lagi. Hari keempat, tepatnya hari Minggu, perjalanan kami berlanjut. Kali ini bersama-sama dengan yang punya Sumba., secara itu adalah hari Minggu.  Hai bu dokter..... Tujuan kami adalah Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Hmmmm....panjang yah, tiga kabupaten sekaligus. Dapat apa? Dapat galau, hahahahaha......, Dapat banyaklah. Sumba Barat dan Sumba Barat Daya ini juga tak kalah cantiknya dengan Sumba Timur, sudah sedikit lebih hijau daripada Sumba Timur, Sepanjang perjalanan hanya pohon flamboyan yang mulai berbunga. Jadi setidaknya jalanan pagi itu sedikit berwarna. Dan si bu dokter yang masih malu-malu ketika saya foto. Maklum baru ketemu lagi setelah hampir 17 tahun gak ketemu. Eh bener gak sih? Sepertinya masih grogi, difoto sama saya. Tapi mari kita lihat apa yang terjadi selanjutnya. Siapa yang paling banyak punya foto. Sekilas tentang bu dokter 'jutek dan bawel' satu ini. Teman waktu masih sempat SMP dulu. Ngobrol hanya sekena dan selewatnya saja. Gak pernah ngobrol lama. Lagian ngapain juga ngobrol sama saya lama-lama.. Lulus dari SMP, boro-boro ngobrol ketemu aja nggak. Tiba-tiba nongol di FB sudah jadi dokter aja, dokter spesialis lagi..., yang akan bertugas ke Sumba. Nah, itu sebab kenapa saya bisa nyasar di Sumba.

Tujuan pertama kami adalah, air terjun Lapopu, terletak di Sumba Barat. Perjalanannya Alhamdulillah tidak separah Tarimbang, jalan sudah beraspal, dengan perbukitan yang sudah menghijau. Kami turun sejenak, maklum pantat sudah mulai tipis kebanyakan duduk. Foto-foto dulu.
Bu dokternya masih malu-malu gak mau liat kamera. Sebenarnya awalnya pengen tampak belakang sih semuanya. Tapi, sayanya yang gak tahan buat noleh. Jangan terpaku dengan kami berdua, tapi lihatlah apa yang ada dibelakang saya atau dihadapan bu dokter. Sumba cakep yah. Tempat cukup luas dan landai, bisa untuk istirahat sejenak, meluruskan otot-otot kaki yang lama ketekuk gara-gara kelamaan duduk dimobil. Dan kami pun belum tahu masih seberapa jauh lagi perjalana yang harus kami tempuh. Masih panjang atau sudah dekat. Tidak ada yang tau, secara internet mati disini jadi, gak bisa pake GPS or WAZE atau buka Google Map. Hanya berpedoman dengan petunjuk dari teman bu dokter, kalau nemu pohon besar belok kiri. Pohon besar yang manaaaaa????? Secara pohon di sana kan besar-besar semua. Sambil menemukan si pohon, foto-foto masih berlanjut. Sekali-sekali foto bareng sama bu dokter yang ngehitz ini. Artisnya RS. Umbu Rara Meha.  Semoga tidak menimbulkan fitnah yah.
Setelah foto-foto, perjalanan pun kami lanjutkan. Gak tau, masih berapa jauh, tidak ada petunjuk yang valid. Tidak ada petunjuk dari DLLAJ. Patokannya cari belokan yang ada pohon besarnya. Akhirnya si pohon besar pun ditemukan. Ternyata dari pohon sampai ke air terjun masih jaaauuuuuhhhhhh lagi. 45-60 menitan kali yah. Kirain dah dekat. Minim petunjuk, berbekal tanya sana-sini, nemu juga. Ketika jalanan sudah mulai mentok, alias mobil sudah tidak bisa lewat. Kami pun turun dan berjalan kaki. Suara air terjun sudah mulai terdengar. Itu artinya tidak jauh lagi. Setelah bayar ongkos masuk, eh, karcis maksudnya. Dan setelah saya dikira wartawan or fotografer untuk keperluan komersil lainnya, nyaris saja dikenakan biaya masuk 5 juta, ya kalau gak salah. Hanya karena ngeliat saya bawa kamera DSLR dan  si trisis, alias tripod narsis.  Dipikir mau prewed, siapa yang mau di-prewed. Bu dokternya lagi tahap mencari. *ups keceplosan. Foto buat model? Secara orang-orang yang ada saat itu tak ada yang cocok jadi model. Dari tempat pembayaran tiket, kami harus berjalan lagi menyusuri sungai. Treknya gak terlalu sulit, hanya harus sedikit hati-hati saja. Kepleset paling nyempulng. Trus basah. Gak sampe hanyut, karena arusnya tenang banget. Mungkin karena belum musim hujan, jadi si air masih kalem.

Ketika hampir mendekati air terjun, kita akan berjumpa dengan jembatan bambu yang seadanya. Lewatnya pun gak bisa rame-rame. Harus per dua orang. Karena khawatir jembatan bambu ini tidak kuat menampung berat badan kami. Kebayang aja, kalau tiba-tiba musim hujan dan arus menjadi deras. Mungkin jembatannya bisa hanyut. Perjalanan ini ternyata tidaklah rugi. Gak sia-sia berangkat pagi dari Waingapu, Sarapan diwarung yang seadanya. Ngeliat surga tersembunyi.  Saya hanya bisa bengong sejenak, Beruntung bisa sampai sini, melupakan sejenak kebisingan 'hidup'. Sambil menyiapkan peralatan tempur, untuk mengabadikan tempat cantik ini. Dengan harapan pengen bisa balik kesini lagi. Memang pingin balik sih, kan mau lihat Sumba di musim hujan.
Akhirnya tiba di air terjun Lapopu. Air terjun yang dulu hanya saya lihat di internet. Hahahha, lebay dah. Gak terlalu rame, hanya ada beberapa orang pengunjung, dan itu juga hanya penduduk setempat. Tertutup dengan rimbunan pohon yang lebat. Bisa buat berenang juga kok. Kalau bisa berenang ya silahkan saja. Minim tempat duduk-duduk, karena memang sepertiny Lapopu ini hanay dibiarkan begitu saja, alami tanpa ada polesan apa-apa. Biar orang gak lama-lama juga kali ya? Oh, iya lupa. Hampir disemua tempat yang saya kunjungi, tidak ada orang yang berjualan. Warung kecil hanya sekedar jualan minuman atau makanan kecil pun tak ada. Jadi, sebelum ketempat-tempat ini ada baiknya bawa bekal sendiri. Jangan bermimpi ketemu si indo atau si alfa di sepanjang perjalanan. Yang ada hanya hamparan perbukitan dengan rumah pendudu yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Tidak perlu berlama. Karena perjalanan kami masih jauh.

Tujuan terakhir, Sumba Barat Daya. Konon ada pantai cantik juga dan ada laguna supeer cantik. Awalnya kami ragu, karena secara kami benar-benar buta mengenai area ini. Tidak bisa menebak jarak dan waktu tempuh. Tapi karena sudah berada di Sumba Barat, yaaa hajar saja. toh cuma ke Sumba Barat Daya, geser dikit posisinya, kalau liat di arah mata angin. Berbekal tanya sana sini, keluar masuk perkampungan, keluar masuk hutan, jalan bersemak. Setiap bertemu anak-anak, mereka lari terbirit-birit untuk bersembunyi. Katanya takut. entah takut karena apa.


Akhirnya tempat yang kami tuju itu pun muncul. Laguna Weekuri, Sumba Barat Daya. Tertutup rerimbunan pohon. Sebenarnya bukan saya yang ingin, tapi Bu Dokter, Saya kan hanya ngikut aja. Suruh kesini yaaa kesini.. Cukup ramai saat kami sampai. Ada juga pengunjung dari Jakarta dan beberapa wisatawan asing. Tempat ini sudah cukup dikenal. Seadanya aja sih. Benar-benar dibiarkan alami apa adanya. Semoga tetap seperti itu terus. Jangan ada hotel atau apaun itu yang bisa merusak keindahan tempat ini. Senang itu pasti, terbayar sudah perjalanan seperti tanpa ujung itu. Ternyata ujungnya indah. Menyegarkan mata. Air laut biru yang jernih dengan pasir putih menjadi dasarnya. "Maka nikmat Tuhanmu  yang manakah yang  kamu dustakan?"

Tetanggaan dengan Weekuri, adalah pantai - sebenarnya masih segaris dengan pantai yang ada dibalik karang-karang laguna weekuri ini -  Pantai Mandorak. Pantai dengan karang yang terjal, tapi juga ada bagian yang landai. Pantai pasir putih, halus. Lumayan tersembunyi juga. Tidak ada petunjuk. Sekali lagi hanya bekal bertanya dengan penduduk sekitar.Ketika sampai, agak gak yakin
karena tidak ada tanda-tanda kalau disekitar itu ada pantai. Lumayan jalan cukup jauh. Mungkin kalau datang yang kedua sudah ada jalan yang bisa membuat jarak pantai ini tidak terlalu jauh. Ngeliat pantai ini, cuma satu yang pengen banget tungguin. Sunset. Pasti keren. Tapi agak nggak mungkin, secara tempat ini betul-betul sepi, Jauh dari peradaban. Mungkin berkemah kayaknya seru. Motoin bintang di malam hari. Hahaha, mulai deh. Ada satu spot yang menarik disini, mulut dinosaurus. Sukurlah si bu dokter mau dijadikan 'model' awas jangan lompat Dok,
gak ada penggantinya nanti. Setelah puas foto-foto. Meski siang terik, tetap berasa di gunung yang dingin. Lebay lagi deh. Terbayar, gak sia-sia jalan jauh-jauh ke Sumba, ketemu dengan tempat-tempat indah nan kece. Masih alami, bersih, sepi dan tenang. Meski pulangnya kami harus kehabisan bensin, dan terpaksa beli 60.000/5 liter. Ngoklah euy. Duuh Indonesia...., kapan ratanya keadilanmu.

Dan apakah setelah ini akan ada Sumba sesi II? Adakah orang-orang yang "teracuni" dengan foto-foto saya ini dan foto-foto Bu Dokter. Meski Sumba sesi II masih diawang-awang saat itu. Tapi hati ini terlanjur berjanji untuk melihat Sumba di musim hujan. Janji harus ditepati kan yah? Mungkin saya akan kembali...,. Tunggu yah, (kepedean deh...).

INDONESIA ITU INDAH, JANGAN DIRUMAH SAJA                   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Enjoy Jakarta] Bermain Diujung Pelangi (Pulau Tidung)

BAHWA HIDUP ADALAH ....

ARIAH , Ketika Mimpiku Diwujudkan